Sejarah Desa

Pada zaman Penjajah Belanda sampai dengan Jepang Desa Jatikerto merupakan Hutan lebat yang ditumbuhi beraneka ragam tanaman dengan dominasi pohon jati yang usianya ratusan tahun. Waktu itu hutan yang sekarang menjadi Desa Jatikerto belum dihuni oleh orang. Akhirnya dalam pengembaraan yang panjang, seorang yang berasal dari Solo (Surakarta)bernama Ki Wonodjojo melancong sampai dikawasan Timur Pulau Jawa tepatnya di Desa Slorok dengan alasan hindari peperangan yang dahsyat di Daerahnya.


Setelah bermukim dikawasan Slorok Ki Wonodjojo menikah dengan gadis Desa asal Slorok, kemudian dia bersama-sama temannya berusaha meningkatkan sejahteraan untuk hidupnya melalui pembukaan hutan sebagai bahan untuk pertanian. Ki Wonodjojo dan kawan-kawannya kerasan tinggal dikawasan yang baru dibuka tersebut karena tanahnya landai dan subur.Gayung bersambut akhirnya berita dari mulut kemulut sampailah ketetangga yang berada di kawasan Slorok dan sekitarnya, mendengar kawasan baru tanahnya landai dan subur maka berduyun-duyun orang datang membuka hutan dipergunakan untuk tempat tinggal dan kawasan pertanian.


Dengan semakin bertambahnya jumlah pemukim dikawasan yang baru tersebut maka timbullah keinginan warga masyarakat untuk mempunyai seorang pemimpin yang dapat diteladani dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya dengan semangat “HolobisKuntul Baris” setelah bermusyawarah tercapailah kesepakatan secara aklamasi untuk mengangkat Tetuwo Desa (Sesepuh desa) yaitu Ki Wonodjojo. Dengan kearifan dan keteladanannya akhirnya kawasan ini semakin dikenal orang dan semakin bertambah minat warga di luar kawasan tersebutuntuk menetap dan menjadi bagian warga Ki Wonodjojo.


Selang beberapa tahun setelah masa penebangan hutan dan penduduknya relatif banyak maka kawasan ini diberi nama Bedali, kemudian setelah jumlah penduduk semakin bertambah suatu waktu diadakan musyawarah diantara mereka yang selanjutnya melahirkan kesepakatan untuk mengganti nama Bedali menjadi Jatikerto Jati diambil dari sebutan nama kayu Jati sedangkan kerto berarti penghargaan, jadi Jatikerto berarti penghargaan terhadap kayu Jati.Dengan kata lain desa ini berasal dari Kayu Jati yang mempunyai tingkat penghargaan yang tinggi. Ini sekaligus memberi arti pengharapan bahwa desa ini kelak diharapkan menjadi desa yang dihargai atau dihormati oleh orang-orang atau desa-desa yang lainnya.


Jatikerto ini mendapat pengakuan sah dari pengageng Ki Raden di Kadipaten Pasuruan dengan sebutan Desa Jatikerto, yang kemudian nama desa ini dipakai sampai sekarang. Sedangkan tahun berdirinya kurang lebih semasa kepemimpinan Ki Wonodjojo yaitu tahun 1558. Sejarah singkat Desa Jatikerto didasarkan pada catatan atau dokumentasi yang ada di Kantor Desa dilengkapi informasi yang diperoleh dari para sesepuh desa diantaralain: dari mantan Kamituwo,Bapak Rawi mantan Carik Suyatno (almarhum), dan sesepuh desa Mbok Rah, Bapak Daman dan Pak Pur. Sejarah singkat desa ini digali oleh Sutrisno Mantan Kepala Desa dan di himpun oleh Kepala Dusun Jatikerto Djamil Rifa'i (Almarhum).


Mengingat sejarah terbentuknya sebuah desa tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan budaya (kultur) masyarakat setempat semenjak kepemimpinan tetuwo sampai dengan Kepala Desa yang sekarang seluruh sesepuh dan warga Desa Jatikerto masih mengakui bahwa ada sejumlah Gending-gending Jawa yang dipercayai sebagai Gending Danyangan. Gending Danyangan yang dianggap mempunyai daya magis yaitu:

  1. Sekar Gadung
  2. Pacul Gowang
  3. Randu Kintir
  4. Celeng Mogok
  5. Puji Rahayu
  6. Undur-Undur
  7. Eling-Eling

 

Ketujuh gending tersebut diyakini mempunyai nilai sakral karena tidak dapat diperdengarkan pada waktu sembarangan. Gending-gending ini hanya untuk diperdengarkan Pada ada acara tahunan yang disebut Bersih Desa, yaitu Selamatan Desa yang diselenggarakan pada waktu malam hari dengan rangkaian sesaji lengkap menurut adat Jawa yang dilakukan padabulan Suro (Muharam).Gending-gending tersebut untuk menghantarkan acara tayuban yang mengiringi sejumlah Waranggono (pelantun tembang Jawa putri) kemudian diikuti oleh semua perangkat desa (pamong desa). Pangelaran tayub tersebut biasanya dilaksanakan di tengah sawah atau di Balai Desa, tempat-tempat lain yang sudah disepakati oleh tokoh-tokoh masyarakat. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan acara tayub tersebut digelar di rumah-rumah tokoh masyarakat atau digelar pada suatu acara penting yang dilakukan oleh tokoh masyarakat kemudian acara bersih deso menumpang (nunut) pada acara tersebut.


Menurut keterangan ada sesepuh warga yang menuturkan sebagai berikut “Ingkang kawastanan gending-gending dayangan puniko naming prayogi dipun midangeten wonten ing sasono budhoyo bersih desa kemawon, salintunipun mboten kepareng amargi dipun yakini bilih gending-gending kolowau wontenisinipun ingkang wigati ugi wingit". Artinya “Yang disebut gending-gending yang mengandung nilai sakral itu hanya untuk acara selamatan Desa,diluar acara bersih desa gending-gending tersebut tidak boleh diperdengarkan karena dianggap sakral atau gaib.
Hasil observasi menunjukan bahwa gending-gending tersebut memang tidak pernah diperdengarkan diluar acara selamatan desa (bersih desa). Penduduk Desa pada umumnya menganggap bahwa gending-gending dayangan tersebut malati (membuat orang atau warga desa terkutuk ) kalau diperdengarkan disembarang waktu.